Di saat kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, banyak sekali sektor ekonomi kreatif yang mengalami penurunan penjualan cukup tajam. Bahkan kondisi serupa juga turut dialami oleh Riri Rengganis yang dikenal sebagai seorang fashion designer Indonesia.
Diakui Riri sapaan akrabnya, bahwa dirinya sampai harus menutup 3 outlet sekaligus (Alun-Alun Indonesia Grand Indonesia, Sarinah Thamrin dan outlet di Singapura) dikarenakan adanya wabah pandemi Covid-19 ini. Dirinya pun sampai harus merubah strategi untuk lebih fokus pada penjualan online dan membuat produk yang lebih relevan dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat saat ini.
Sampai pada momentum dimana Riri Rengganis pun mendapatkan ide untuk membuat design masker premium yang awalnya hanya ditawarkannya kepada para pelanggan loyalnya saja, brand masker premium ini bernama ‘Rengganis’.
“Ide dari pembuatan masker premium ini sebetulnya sangat sederhana, saya hanya mencoba untuk menawarkan kepada pelanggan loyal saya, desain yang bisa dipadukan dengan koleksi baju yang sudah ada, baik dari brand Rengganis maupun Indische. Di luar dugaan, ternyata justru masker ini menarik juga bagi orang-orang baru yang belum kenal dengan kedua brand saya. Ternyata, kebutuhan akan masker premium sangat tinggi, dan sekarang telah menjadi produk aksesoris yang paling dicari,” jelas Riri Rengganis.
Masker premium karya Riri ini terbuat dari bahan 100% katun voille dilapisi dengan woven interlining (trikot) dan satu lagi lapis tipis non-woven interlining (kain kapas). Lalu pada bagian dalamnya ditutup dengan katun voille lagi agar bisa disisipkan tissue (reusable tissue atau tissue basah yang dikeringkan) sebagai filter sesuai anjuran pemerintah.
“Sebelum diluncurkan, saya sudah tes menggunakan masker ini dan tanpa tissue pun sudah tidak bisa meniup lilin di depannya. Namun dengan bentuknya yang seperti mangkuk, maka kain tidak menempel pada lubang hidung sehingga kita tetap nyaman untuk bernafas (breathable),” ujarnya.
Saat ini sudah banyak sekali bermunculan berbagai desain masker premium seperti yang customized, tematik, motif batik, motif tenun dan lain-lain dan menariknya semuanya merupakan inisiatif dari berbagai UKM di seluruh Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi ini bukan hanya perihal kesempatan bisnis, melainkan sudah merupakan potret sejarah bagaimana industri kecil Indonesia berjuang dan menggeliat di tengah ketidakpastian.
UKM dan industri kreatif di Indonesia harus diakui cukup rentan karena tidak adanya insfrastruktur industri, sekaligus tangguh (resilient) karena tinggi kreatifitas didukung oleh pasar dalam negeri yang berjiwa gotong-royong, tetap semangat membeli produk sesama pengrajin/designer lokal.
“Sesungguhnya ini adalah masa yang sangat menarik. Saya penasaran, sejauh mana ekonomi kreatif bisa berkontribusi pada kehidupan di masa sulit, maupun di dunia baru nanti setelah pandemi di mana perilaku manusia dan pola konsumsinya sudah berubah,” tutup Riri.