Merebaknya wabah virus corona (covid-19) di Indonesia, tentu saja mulai membuat sektor pariwisata Indonesia tertekan sangat dalam, nilai kerugian pun dikabarkan mencapai USD1,5 miliar atau setara Rp21,8 triliun.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B. Sukamdani saat mengadakan press conference di Gedung TVRI, Jakarta, pada hari Kamis (12/3).
“Untuk yang fase ke-2 terhitung per 1 Maret belum bisa dicek. Tapi kalau dihitung dari Januari 2020 sampai saat ini kami perkiraan kerugian yang dialami mencapai USD1,5 miliar,” terangnya.
Angka tersebut mengacu pada wisman dari Tiongkok yang jumlahnya terbanyak dua juta orang, per wisman ini paling tidak menghabiskan sekitar USD1,100.
“Kita ambil separuh saja, peak season-nya wisaman adalah pada bulan Januari-Februari saat Chinese new year jadi sekitar USD1,1 miliar, ditambah wisman negara lain yang mencapai USD400 miliar,” kata Hariyadi kepada TravelmakerID.
“Dari segi pengusaha dan sektor industri harus tetap aktif melakukan kegiatan demi menjaga ekonomi nasional. Karena mata rantai ekonomi Indonesia juga menyentuh hingga level grass root, contohnya UKM yang sangat erat berhubungan dengan pariwisata,” katanya.
Kondisi Pariwisata Bali yang Sangat Terdampak
Diungkapkan juga oleh Hariyadi B. Sukamdani, bahwa dampak covid-19 di Bali sangat terasa dengan turunnya okupansi hotel, khususnya di daerah-daerah yang banyak dikunjungi oleh individual traveler seperti di Kuta, Sanur, Legian, Ubud dan Jimbaran.
Kondisi ini memaksa pihak hotel gencar melakukan efisiensi. Salah satu efisiensi terbesar ada pada biaya pegawai. Dia menyebut, ongkos untuk pegawai dipangkas hingga 50%.
“Karena perusahaan jaga cash flow. Kalau masuk semua kan 100%, sekarang perusahaan coba jaga di angka menurunkan 50% biaya tenaga kerja,” ungkap Hariyadi Sukamdani di Jakarta, Kamis (12/3/20).
Namun, pemangkasan biaya pegawai tersebut tidak secara langsung dilakukan melalui mekanisme pemecatan alias PHK. Dia menjelaskan, dalam menjalankan bisnis hotel, para pelaku usaha biasanya memberlakukan 3 skema kepegawaian.
“Ada 3 jenis karyawan yakni harian, kontrak dan tetap. Nah, yang sekarang terjadi daily worker tidak dipakai. Yang karyawan kontrak dan permanen, itu sudah mulai terjadi mereka itu masuknya giliran, seperti di Bali,” bebernya.
Tak hanya hotel, hal serupa juga terjadi pada bisnis restoran di Bali. Hanya saja, efisiensi biaya pekerja untuk bisnis restoran tidak serumit beban yang ada pada bisnis hotel.
“Lebih banyak memang karyawan kontrak. Relatif sedikit lebih less complicated, tidak terlalu rumit ketimbang hotel. Lebih bisa beradaptasi penyesuaian jumlah karyawan,” urainya.
Di sisi lain, beban pengusaha hotel dan restoran yang juga perlu diefisienkan adalah pembayaran bunga pinjaman. Namun hal ini masih perlu kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Biaya yang juga besar, kita minta OJK adalah relaksasi pinjaman. Yakni untuk bayar pokok dan bunga pinjaman,” katanya.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mencanangkan pemberian insentif atau diskon untuk mendorong peningkatan wisatawan nusantara melalui diskon tiket pesawat. Hal seperti ini diharapkan dapat meningkatkan belanja domestik di sektor pariwisata.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Baparekraf, Fadjar Hutomo pun mengatakan pemerintah telah bersikap rasional, hingga tidak terlalu takut juga jangan terlalu lust. Hal ini dilakukan untuk menekan demand dan supply shock.
“Yang saat ini sedang digodok adalah policy relaksasi. Industri sedang kesulitan arus kas (cash flow). Karena itu kebijakan otoritatifnya sedang disiapkan kementerian terkait,” ujar Fadjar.
Pemerintah mengaku akan terus berupaya mengupayakan sisi demand traffic travelers tidak terlalu anjlok serta menjaga iklim pariwisata tetap dapat berjalan maksimal.