Bertempat di Dafam Teraskita Jakarta, pada hari ini diselenggarakan untuk pertama kalinya diskusi panel tentang pengembangan wisata danau-danau di Indonesia yang merupakan kolaborasi kedua antara Kemenpar (Kementerian Pariwisata) dan juga Forwapar (Forum Wartawan Kementerian Pariwisata). Sebelumnya pada Februari silam, Forwapar telah sukses menyelenggarakan seminar dengan tema ‘Mitigasi Bencana di Daerah Wisata’ dan dihadiri langsung oleh Menteri Pariwisata, Ir. Arief Yahya.
Dibuka langsung oleh Johan Sompotan selaku Ketua Umum Forwapar periode 2019-2021, acara ini juga melibatkan sejumlah nara sumber yang telah berkecimpung lama di industri pariwisata dan juga aktivis lingkungan hidup.
Sebagai kolaborator utama di acara ini, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Kementerian Pariwisata, Dadang Rizki Ratman yang juga memberi sambutan pembuka, mengungkapkan bahwa saat ini di Indonesia setidaknya ada 15 danau yang menjadi prioritas untuk dikembangkan pariwisata di sekitarnya.
Tercatat 15 danau prioritas itu antara lain ada Toba, Sentarum, Tempe, Tondano, Lomboto, Sentani, Matano, Poso, Kaskade, Batur, Rawa Pening, Rawa Danau, Kerinci, Singkarak, dan Maninjau.
“Saat ini Danau Toba yang merupakan kaldera raksasa di dunia dan termasuk salah satu yang diusulkan pemerintah sebagai UNESCO Geopark baru dikenal sebagai tempat wisata tapi oleh masyarakat sekitar masih dimanfaatkan secara iliar tanpa memperhatikan lingkungan”, papar Dadang dalam pembukaannya.
“Saat ini di Danau Toba sedang dirintis nomadic tourism. Tidak perlu bangun hotel yang mungkin saja memakan banyak biaya dan juga polusi, tapi pengembangan wisata bisa mengarah ke glamping dan karavan, selain lebih instagramable, juga lebih ramah lingkungan”, tambahnya.
Sedangkan panelis lain dalam diskusi hari ini yaitu Nur Hygiawiati Rahayu yang mewakili Deputi Kemaritiman
Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air mengungkapkan bahwa Indonesia kaya dengan alam dan ada lebih dari 800 danau yang tersebar luas mulai dari ujung Sumatra hingga Papua.
“Pemanfaatan danau sangat penting dan 15 di antaranya terbilang perlu dikembangkan karena juga ikut menjadi salah satu penyedia air tawar untuk lingkungan setempat. Pada tahun 2045 diperkirakan danau-danau di Pulau Jawa akan menjadi solusi suplai air tawar terbaik untuk sekitarnya”, kata Rahayu dalam pemaparannya siang ini.
“Peningkatan kebutuhan lahan untuk pertanian tahun 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka akan berdampak signifikan pada pasokan air tawar yang datang dari danau karena pohon-pohon di hutan pun akan menurun luasnya sebagai penyuplai air”, tambahnya.
Tercatat air permukaan di Maluku dan Sulawesi sudah defisit dalam beberapa tahun ini. “Sehingga air pada akhirnya akan menjadi prioritas nasional. Dan ekonomi tentu tidak bisa berkembang dengan baik tanpa air. Untuk itu kita perlu revitalisasi danau untuk kehidupan yang lebih baik”, paparnya lagi.
“Dalam pengamatan saya, dari 15 danau yang menjadi objek vital, ada yang memang sudah bagus alamnya. Tapi juga ada yang tidak populer, seperti Danau Limboto yang debit airnya kian menyusut, masalah-masalah yang datang dari danau tidak jauh-jauh dari eutrofikasi, sedimentasi dan juga pencemaraan limbah domestik rumah tangga dari warga sekitar danau”, ujarnya.
Secara keseluruhan, atraksi memang perlu ada, tapi juga perlu dipertimbangkan aspek amenitas. Daya tampung danau perlu ditinjau. Salah satunya yang bisa menarik kemajuan ekonomi bisa dicapai lewat ekowisata yang ikut menyumbang percepatan ekonomi. Tapi perlu berhati-hati agar tidak merusak alam.
“Di Indonesia, contohnya ada Danau Sentarum yang dipakai sebagai wilayah konservasi saat ini. Sedangkan Limboto perlu dipulihkan supaya ke depannya bisa dikembangkan lagi sebagai bagian dari pariwisata”, tutup Rahayu pada diskusi hari ini.
Mengingat banyaknya kondisi danau saat ini yang rusak dan salah pengelolaan tentu membuat pemerintah dan stake holder terkait untuk menerbitkan undang-undang perlindungan. Penyelematan ekosistem menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa dielakan lagi, agar danau bisa dinikmati generasi mendatang.
Panelis lain yang turut hadir dalam sesi diskusi hari ini ada Prof. Winarni Monoarfa, Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat dan Daerah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Menurut saya masalah yang ada pada danau-danau di Indonesia tidak jauh-jauh dari Eutrofikasi atau tumbunhnya secara liar eceng gondok di permukaan danau dan juga pencemaran kegiatan perikanan lewat penangkapan yang tidak kalah liar”, ungkap Winarni.
Lebih jauh Winarni memaparkan bahwa jika danau disentuh aspek wisata, akan ada banyak manfaat untuk masyarakat sekitar.
“Pemanfaatan eceng gondok jadi pupuk dan biogas atau sebagai suvenir merupakan solusi agar masyarakat bisa menikmati danau tanpa merusak”, katanya. “Kita perlu mewaspadai akibat pendangkalan danau karena banyak ikan endemik yang ikut hilang, sebuah kerugian besar” katanya mengingatkan.
Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup sudah mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan danau dari kerusakan lebih lanjut, mulai dari keramba apung untuk perikanan hingga pemanfaatan eceng gondok sebagai sumber biogas.
Kementerian Lingkungan Hidup juga mengungkapkan bahwa banyak pencemaran air dimulai dari sampah domestik dan limbah karena masyarakat sekitar menggangap danau sebagai halaman belakang. Selain itu, erosi dan sedimentasi (pendangkalan) juga sering terjadi karena proses pembangunan di sekitar danau yang tidak terkontrol.
Di sisi lain, pengembangan pariwisata dengan danau pun bisa dikembangkan dengan berbagai festival menarik, seperti adanya Festival Danau Toba yang telah berjalan puluhan tahun dan juga pada September mendatang ada Festival Danau Matano.
Pada sesi penutup hari ini, ada juga Naswardi, Kabid Danau Situ dan Embung Direktorat Bendungan Ditjen Sumber Daya Air yang mengungkapkan bahwa badan danau sebagai wilayah sempadan harus dijaga dari aktivitas yang mengganggu lingkungan sekitar.
“Salah satunya di Rawa Pening telah terjadi pengangkatan tanah yang dijadikan sebagai lahan pertanian. Padahal area tersebut menjadi tempat penyimpanan air,” buka Naswardi dalam pemaparannya.
“Sekarang tinggal 3 meter kedalamannya padahal dulu 15 meter di Rawa Pening, akibat sedimentasi”, lanjutnya lagi.
Dalam sesi diskusi hari ini juga dipaparkan berbagai macam upaya untuk mendukung pariwisata di sekitar danau.
Salah satunya di Danau Toba saat ini sedang dilakukan pelebaran alur lebih lebar agar antinya kapal besar pun bisa mengelilingi danau. Lalu ada penambahan jembatan tahun depan untuk akses dari Pulau Samosir ke Pulau Sumatra.
Pencapaian lainnya, di Lomboto saat ini sedang ada revitalisasi untuk mengembalikan lahan danau yang berkurang akibat pemanfaatan secara liar. Sedangkan di Kerinci juga sedang ditertibkan penambangan emas liar yang menghasilkan polusi lingkungan untuk masyarakat sekitar.
Secara keseluruhan hasil dari diskusi hari ini berujung pada fungsi danau yang bukan saja hanya bisa bermanfaat secara ekonomi tapi juga tidak merusak lingkungan sekitar lewat pengelolaan yang salah.
“Danau harus bisa memberi manfaat dan nilai ekonomi untuk masyarakat sekitar, dan pelancong pun bisa menikmati alam tanpa merusak danau, ini namanya ekonomi berkelanjutan”, ujar Dadang.
“Saat ini yang paling siap untuk dikembangkan pariwisata dengan lingkungan alam yang tetap terjaga di antaranya ada Maninjau, Kerinci, Rawa Pening, Sentarum, dan Tondano”, tukas Dadang.
“Kalau daerah lain yang punya danau dan ingin mengembangkan wisatanya akan kita dorong, akan difasilitasi”, kata Dadang lagi.