Nusantara

Berkunjung 30 Menit, Menparekraf Bawa Dampak Positif untuk Perekonomian Desa Wisata Liya Togo

Walaupun hanya berlangsung selama 30 menit saja, namun kedatangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno langsung membawa perubahan nyata di Desa Wisata Liya Togo, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Kedatangan Menparekraf yang dijadwalkan untuk menengunjungi desa wisata terpaksa hanya sebentar karena dia harus melakukan rapat di Istana, namun walaupun hanya berlangsung selama 30 menit, masyarakat yang datang cukup ramai.

Masyarakat juga cukup puas dan bangga karena desanya sudah didatangi Menparekraf. Selain itu, saat kunjungannya, Menparekraf melihat ada pergerakan ekonomi yang cukup baik. Kabarnya para pedagang kaki lima baik itu makanan kecil dan lainnya malah naik omsetnya, sehingga, kedatangan Menparekraf justru malah meningkatkan dan sekaligus bangkitkan ekonomi masyarakat.

Selain itu, salah satu produk wisata bukan lokasi melainkan juga souvenir yang menjadikan ciri khas suatu daerah wisata. Produk-produk tersebut memang harus memiliki ciri khas dari suatu daerah tersebut, sehingga tidak hanya memiliki nilai ekonomis melainkan juga nilai sentimental yang bisa menjadi suatu kenangan terhadap lokasi tersebut. Souvenir ini menjadi salah satu tanda mata dari lokasi wisata tersebut. Bahkan banyak wisatawan juga membeli souvenir sebagi buah tangan dan juga untuk kenangan kalau dia pernah berkunjung suatu tempat wisata.

Hal tersebut juga terjadi di Desa Wisata Liya Togo, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Siapa yang tidak kenal dengan brand wisata Wakatobi, berawal dari popularitas Wakatobi inilah maka akan banyak wisawatan yang mencari souvenir seperti kaos bertuliskan atau gambar lokasi tersebut.

“Apalagi kita tahu kalau souvenir juga masuk dalam ekonomi kreatif,” terang Menparekraf.

Namun, Menparekraf mendapatkan informasi bahwa masyarakat Desa Wisata Liya Togo mengalami kendala bila ingin membuat souvenir. Pengelola desa melapor ke Menparekraf kalau mereka belum memiliki mesin jahit dan mesin bordir demi keperluan peningkatan produksi fesyen. Oleh karena itu, selama ini desa menjahit dan membordir menggunakan jasa desa lain dan mengeluarkan biaya yang cukup mahal, sehingga mendapatkan keuntungan yang sedikit.

“Padahal mereka itu yang mendesain tapi karena tidak ada mesinnya maka mereka bawa ke lokasi lain sehingga keuntungannya sangat sedikit dan juga proses pembuatannya menjadi memakan waktu lebih lama,” tegasnya.

Bahkan salah satu perajin mengaku bahwa keuntungan mereka sangat sedikit karena harus menjahit dan membordir di desa lain. Hal tersebut pastinya bisa membuat pendapatan mereka berkurang.

“Jadi Mas Mentri, kalau kita punya mesin sendiri tentunya berbeda pendapatannya,” tutur ibu-ibu pengajin.

Untuk itulah, Menparekraf melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memberikan dua unit mesin jahit dan dua unit mesin bordir yang telah dipesan dari Kendari. Dirinya berharap bantuan ini bisa membuat pendapatan para pembuat souvenir ini naik sehingga meningkatkan ekonomi penduduk desa.

Salah satu pengrajin mengucapkan terima kasih kepada Menparekraf terkait dengan hadiah mesin jahit dan mesin bordirnya.

“Terima Kasih Mas Menteri atas mesin jahit dan bordirnya, jadi kita tidak usah bordir di luar desa,” ungkap wanita yang berjualan syal dan sarung khas Wakatobi tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *