PT Garuda Indonesia Tbk. mempersiapkan sederet strategi untuk menjaga kelangsungan perusahaan hingga akhir tahun ini. Perusahaan memperkirakan akan menjalani masa terburuk hingga Juli 2020 dan dalam skenario paling buruk diperkirakan tak akan mengangkut penerbangan haji tahun ini.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen perusahaan menyebutkan periode Mei-Juni seharusnya merupakan high season alias musim puncak bagi industri penerbangan.
Namun dengan kondisi saat ini perusahaan harus menyiapkan rencana strategis, dari sisi keuangan dan operasional perusahaan. Manajemen Garuda menegaskan arus kas atau cashflow merupakan hal yang paling penting untuk menjaga Going Concern perusahaan.
“Garuda Indonesia mempunyai dua kategori biaya yang sangat berpengaruh terhadap pengeluaran kas yaitu biaya tetap yang meliputi biaya sewa pesawat, biaya pegawai, administrasi kantor pusat dan kantor cabang dan biaya variabel penerbangan yang meliputi biaya bahan bakar, biaya kestasiunan, biaya catering, biaya navigasi dan biaya tunjangan terbang bagi awak pesawat,” tulis manajemen Garuda Indonesia dalam keterangan resminya, pada hari Rabu (22/4).
Strategi dari sisi keuangan yaitu:
- Melakukan negosiasi dengan lessor untuk penundaan pembayaran sewa pesawat (lease holiday).
- Memperpanjang masa sewa pesawat untuk mengurangi biaya sewa per bulan
- Mengusahakan financing dari perbankan dalam dan luar ataupun pinjaman lainnya.
- Menegosiasikan kewajiban Perseroan yang akan jatuh tempo dengan pihak ketiga.
- Melakukan program efisiensi biaya kurang lebih 15-20% dari total biaya operasional dengan tetap memprioritaskan keselamatan dan keamanan penerbangan dan pegawai serta layanan.
- Mengajukan permohonan dukungan kepada Pemerintah selaku Pemegang Saham Perseroan.
Adapun dari sisi aspek operasional, manajemen Garuda menegaskan pendapatan penumpang berkontribusi lebih dari 80% dari total pendapatan Garuda.
“Dengan adanya penurunan traffic, maka dibutuhkan strategi untuk menurunkan biaya variabel penerbangan yang kami lakukan,” tulis manajemen Garuda Indonesia.
Strategi dari sisi operasional yaitu:
-
- Mengoptimalkan frekuensi dan kapasitas penerbangan baik penerbangan domestik maupun internasional.
- Mengoptimalkan layanan kargo dan aktif mendukung upaya-upaya pemerintah khususnya yang terkait dengan penanganan Covid-19 melalui pengangkutan bantuan kemanusiaan, APD, obat-obatan, alat kesehatan.
- Menutup rute-rute yang tidak menghasilkan profit.
- Mengoptimalkan layanan charter pesawat untuk evakuasi WNI yang berada di luar negeri serta membantu proses pemulangan WNA untuk kembali ke negara masing-masing dan layanan charter untuk pengangkutan kargo.
- Menunda kedatangan 4 pesawat Airbus A 330 – 900 di tahun 2020.
- Mengembangkan internasional hub (Amsterdam dan Jepang) agar layanan Garuda Indonesia menjangkau seluruh dunia dengan mengoptimalkan layanan interline.
Adapun pada tahun ini, untuk kinerja kuartal I-2020 Garuda Indonesia memproyeksikan akan terjadi penurunan pendapatan sebesar 33% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Turunnya pendapatan ini disebabkan karena turunnya pendapatan penumpang, ada dua faktor penyebabnya yakni jumlah penumpang yang anjlok dan harga jual tiket yang lebih rendah dibanding tahun lalu. Padahal pendapatan penumpang ini menyumbang 80% dari total pemasukan perusahaan.
Pada kuartal I-2020, perseroan memproyeksikan pendapatan perusahaan akan tertekan, sebagai akibat dari penyebaran Covid-19. Pendapatan operasional di 3 bulan pertama tahun ini diprediksi merosot 33% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, mengacu laporan keuangan kuartal I-2019, total pendapatan Garuda mencapai US$ 1,099 miliar atau setara dengan Rp16,49 triliun (asumsi kurs Rp15.000/US$), dari periode yang sama tahun 2018 yakni US$ 983 juta atau Rp14,75 triliun.
Adapun laba bersih US$20,48 juta atau Rp307 miliar, dari sebelumnya rugi bersih US$65,34 juta. Jika terjadi penurunan 33% pendapatan, maka estimasi pendapatan GIAA pada 3 bulan pertama tahun ini bisa sekitar US$736 juta atau setara Rp11 triliun.